Hidup Tapi Seakan Mati

Beberapa waktu lalu, gw pernah ketemu sama temen game gw yang udah 2-3 tahun gak ketemu.

Lalu dia berceletuk, “kakak terlihat berbeda sekarang.”
“Aku gendutan ya sekarang? Ehee.”
“Bukan. Senyum dan raut wajahnya beda, sekarang seperti banyak yang dipikirkan.”
Gw cuma bisa senyum tipis, dan nggak bisa mengelak.

“Iya, soalnya dulu yang ku pikirkan cuma soal cinta. Inget kan dulu waktu aku putus cinta kamu yang hibur? Tapi sekarang soal cinta sudah kayak hal sepele aja dibanding yang lain.”

“Apapun itu jangan terlalu dipikirkan.”

Gw kembali tersenyum.
Dan bertanya, segitu kelihatannya kah beban pikiran gw diraut wajah gw sendiri?

Let’s say, every time I got out from depression episode, reality always slap me on the face right away. Like, it does not give me a single break.

Terkadang gw cuma pingin pergi ke tempat tenang bersama orang yang bisa gw percaya, berbicara, saling memahami, belajar lagi tentang kehidupan, dan make a peace to everything that has been knock me down.

Gw hanya ingin hidup dalam tenang dan bahagia. Di mana gw gak perlu terus-terusan cemas dan merasa ketakutan.

Gw hanya ingin hidup.
Bukan hidup tapi ingin mati,
Atau pun hidup tapi seakan mati.

Jakarta, 22 November 2019.
– Ayase Kim
Originally posted on @kkim2305 & @loveplaywrite instagram story (with some editing).


**Behind the story:: real conversation with my game friend at the Gondangdia Train Station.

Gondangdia Train Station,
picture taken by me

Tinggalkan komentar

Situs yang Didukung WordPress.com.

Atas ↑