Diary: Menulis Novel (3) – “Not In Love”

Alhamdulillah saya panjatkan puji syukur kepada Allah swt atas berkah-Nya yang melimpah dalam kehidupan saya yang gak berguna ini (loh kok jadi curhat). Sebenernya saya mau menyampaikan bahwa sekarang saya bekerja di salah satu perusahaan label musik (trus?), nah bekerja di tempat ini sangatlah ‘challenging’ karena keluar dari comfort zone  yang cuma ngitung uang di depan layar komputer. Udah gitu duit orang lain pula bukan milik sendiri.

Lalu hubungannya dengan artikel ini apa?
Jadi, pekerjaan saya sekarang tidak terlalu menyita waktu alias banyak waktu lowong, tiga bulan sudah saya gunakan waktu luang saya untuk mengerjakan skripsi yang tersendat. Sambil menunggu revisi dari sang dosen yang maha benar, saya berniat mengisi waktu luang dengan menulis novel. Yeeeeyyyy!!!

Tiba-tiba ada ide baru (aduh yang sebelumnya aja tuh 2 tema gak dilanjut hahahaa), gak apa-apa namanya juga latihan menulis. Nah, seperti tertulis di kepala postingan ini judul draft novel saya adalah ‘Not In Love’. Duh saya ini suka baca novel genre thriller, horror, fantasy, advanture, tapi cuma bisa nulis romance hiks hiks.

Langsung aja ya, ‘Not In Love’ rencananya akan bertema (lagi-lagi) berbau slice of life berikut dengan bumbu-bumbu romantis (tsaelahhh). Bercerita tentang dua orang yang memiliki prinsip ‘hidup melajang lebih simple’. Kalau orang lain mau buru-buru nikah, mereka maunya ngejomblo terus. Heran kan lo?! hahahahaha.

Ya, mereka termasuk orang-orang sibuk yang jengah dengan tuntutan sosial, seperti nikah gak boleh telat, abis nikah harus punya anak karena gak lengkap dan bukan keluarga bahagia kalo gak lengkap, harus punya pasangan yang mapan dan lain-lain. Menurut mereka hidup melajang membebaskan dari tuntutan tersebut, tidak ada tuntutan menikah, punya anak, urusan rumah tangga dan lain-lain. Mereka percaya hal tersebut pasti datang kepada mereka suatu saat, tapi bukan karena tuntutan dari orang lain. Eh tapi jangan salah, mereka sayang banget sama keluarga, salah satu alasan memilih melajang adalah keuangan dapat diprioritaskan untuk mengurus orang tua.

Nyeleneh? Gak juga. Banyak kok orang-orang dewasa yang memilih jalan ini di hidupnya, menjalani hidup secara santai. Termasuk saya. #eh

Saya menulis dari sudut pandang orang pertama, Kayla dan pemeran pembantu utama adalah Reino. Dua orang ini dipertemukan dan diakrabkan dengan prinsip hidup yang sama. Mereka memutuskan untuk menjalin hubungan untuk menekan tuntutan sosial namun tetap hidup sendiri-sendiri. Bukan sahabatan tapi saling memahami.

Yuk simak draft tulisan saya,

“Mungkin aku salah dengan keputusanku kemarin.”, tiba-tiba Reino berhenti menyanyi, dia menurunkan genggaman micnya. Aku terdiam menatapnya dikelilingi kerlip warna-warni lampu dekorasi ruang karaoke kami yang temaram.

“Keputusan apa? Keputusan yang mana?”, tanyaku penasaran.

“Membawamu dan mengenalkanku ke orang tuaku.”, dia meletakan micnya pada meja karaoke, meminum seteguk alcohol dari gelas birnya. Dan menatapku lesu. Lagu yang dia nyanyikan masih terputar pada layar di depan kami.

“Ada yang salah?”, tanyaku lagi.

“Tidak ada yang salah sebenarnya. Hanya saja, aku membawamu karena berniat meredam tuntutan orang tuaku. Tapi malah memperburuk.”, dia menghela nafas, “maksudnya, apa yang dihasilkan saat kamu membawaku pada keluargamu berbanding terbalik dengan saat aku membawamu ke keluargaku. Kamu berhasil meredam mereka, sedangkan aku tidak.”

Aku seketika mencerna perkataannya dengan cepat, dan aku paham, keinginan kami untuk hidup melajang terancam berakhir. “Mungkin itu berkaitan dengan background keluarga kita, atau dengan anak keberapa. Aku anak terakhir, dan kamu anak pertama. Adik-adikmu bahkan sudah menikah semua.”

“Apa kita sebaiknya bilang kalau sudah putus saja?”, tanya dia ragu-ragu.

“Kalau begitu, cerita kita gak akan singkron, dan di keluargaku memiliki pacar akan lebih aman dibanding menjomblo.”, jelasku singkat.

“Atau kita menikah?”, Reino tiba-tiba melontarkan ide gila.

“Menikah? Berdasarkan alasan apa? Bukannya yang kita inginkan adalah hidup dengan diri sendiri tanpa ada tuntutan ini itu?”, aku sontak mengernyitkan alis, dan meremas lengannya.

“Kita masih bisa hidup masing-masing setelah menikah, yang kita butuhkan hanya pindah ke apartemen dengan dua kamar.”, aku rasa Reino sudah gila, atau memang dia benar-benar serius dengan perkataannya.

“Lalu kalau orang tua kita menuntut untuk mempunyai anak bagaimana?”, tanyaku lagi.

“Bilang saja kalau kita sulit untuk mempunyai anak.”, jawabnya singkat.

“Maksudmu.. selamanya kita hidup dalam kebohongan?”, aku menatap wajahnya dalam-dalam, laki-laki di depanku hanya terdiam.

Gimana menurut kalian? Boleh di kritik dan sarannya.
Jakarta, 3 Mei 2018.
Xxx AyaseKim


writing
Picture credite to: http://www.writerstoauthors.com/write-a-novel-5-tips/

Tinggalkan komentar

Situs yang Didukung WordPress.com.

Atas ↑